Minggu, 15 Maret 2015

PERKEMBANGAN PESERTA DIDIK PROBLEM STRES SEKOLAH DALAM PERKEMBANGAN PESERTA DIDIK



BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
                                    
Sekolah mempunyai arti yang sangat penting bagi kehidupan dan perkembangan peserta didik. Sekolah dipandang dapat memenuhi beberapa kebutuhan peserta didik dan menentukan kualitas kehidupan mereka di masa depan. Tetapi pada saat yang sama, sekolah ternyata juga dapat menjadi sumber masalah, yang pada gilirannya memicu terjadinya stres di kalangan peserta didik. Sekolah menjadi sumber utama bagi anak selain dalam keluarga. Hal ini disebabakan waktu anak lebih bnayak dihabiskan di sekolah. Disekolah anak merupakan anggota dari suatu masyarakat kecil dimana terdapat tugas-tugas yang harus diselesaikan, orang-orang yang perlu dikenal dan mengenal diri mereka, serta peraturan yang menjelaskan dan membatasi perilaku, perasaan dan sikap mereka. Peristiwa-peristiwa hidup yang dialami anak sebagai anggota masyarakat kecil yang bernama sekolah ini tidak jarang menimbulkan perasaan stres dalam diri mereka. Masa-masa sekolah merupakan pengalaman yang sangat berharga bagi anak tetapi disisi lain mereka dihadapkan pada banyajk tuntutan dan perubahan cepat membuat mereka mengalami masa-masa penuh stres. Mereka dihadapkan pada pekerjaan rumah yang banyak, perubahan kurikulum yang berlangsung dengan cepat, batas waktu tugas dan ujian, kecemasan dan kebingungan dalam menentukan pilihan karier dan program pendidikan lanjutan, membagi waktu untuk mengerjakan PR, olahraga, hobi, daqn kehidupan sosial. Tidak jarang, mereka juga harus berhadapan dengan situasi konflik dengan orang tua, teman-teman, dan saudara-saudara, tuntutan untuk mengatasi suasana hati tak dapat diramalkan, perhatian tentang penampilan, pencekcokan dengan kelompok sebaya, termasuk menangani percintaan dan dorongan seksual. Masalah keuangan, seperti halnya dengan isu-isu tentang alkohol dan obat-obatan juga merupakan sumber kecemasan dikalangan remaja. Bahkan belakangan ini kekerasan didalam dan disekitar sekolah telah menjadi suatu ketakutan baru untuk menghantui anak remaja. Lebih dari semua tuntutan tersebut, mereka juga harus berhadapan dengan perubahan fisik dan emosional yang cepat dan perubahan emosional.


B.     Rumusan Masalah
Dalam makalah ini, penyusun merumuskan beberapa masalah, yaitu :
1.      Apa yang dimaksud dengan problem stres sekolah dalam perkembangan peserta didik?
2.      Apa yang menjadi sumber problem stres sekolah?
3.      Bagaimana dampak yang akan terjadi dari problem stres sekolah?
4.      Bagaimana upaya untuk mengatasi problem stres sekolah yang dialami peserta didik?

C.    Tujuan Penulisan Makalah
Makalah ini mempunyai tujuan :
1.      Menjelaskan apa yang dimaksud dengan problem stres sekolah.
2.      Menjelaskan sumber dari problem stres sekolah dalam perkembangan peserta didik.
3.      Menjelaskan dampak yang akan terjadi dari problem stres sekolah.
4.      Menjelaskan upaya-upaya yang dilakukan untuk mengatasi stres sekolah yang dialami peserta didik.

















BAB II
PEMBAHASAN
A.    Pengertian problem stres sekolah dalam perkembangan peserta didik

Dalam khasanah psikologi, khususnya dalam kajian tentang stres, istilah  “stres sekolah” (school stres) merupakan istilah yang relatif baru. Dalam literatur-literatur ataupun dalam penelitian-penelitian psikologi, istilah ini belum banyak digunakan.
Stres sekolah adalah kondisi stres atau perasaan tidak nyaman yang dialami oleh siswa akibat adanya tuntutan sekolah dan perasaan yang dinilai menekan, sehingga memicu terjadinya ketegangan fisik, psikologis, dan perubahan tingkah laku, serta dapat mempengaruhi prestasi belajar mereka.
Sekolah dipandang dapat memenuhi beberapa kebutuhan peserta didik dan menentukan kualitas kehidupan mereka di masa depan. Akan tetapi di saat yang sama, sekolah ternyata juga dapat menjadi sumber masalah, yang pada gilirannya memicu terjadinya setres di kalangan peserta didik. Bahkan menurut Finian dan Cross (1987), sekolah, di samping keluarga, merupakan sumber setres yang utama bagi anak. Hal ini agaknya di mengerti, sebab anak banyak menghabiskan waktunya di sekolah. Di sekolah anak merupakan anggota dari suatu masyarakat kecil di mana terdapat tugas-tugas yang harus diselesaikan, orang-orang yang perlu dikenal dan mengenal diri mereka, serta peraturan yang menjelaskan dan membatasi perilaku, perasaan dan sikap mereka. (Desmita, 2010;288)
Setres sekolah adalah kondisi setres atau perasaan tidak nyaman yang dialami oleh siswa akibat adanya tuntutan sekolah yang dinilai menekan, sehingga memicu terjadinya ketegangan fisik, psikologis, dan perubahan tingkah laku, serta dapat mempengaruhi prestasi belajar mereka.
Stress siswa bersumber dari berbagai tuntutan sekolah. Sekolah merupakan sebuah system social (social system) dengan struktur organisasi yang kompleks. Bahkan, Arends (1998) secara tegas mengatakanbahwa sekolah dalam banyak hal memiliki kesamaan dengan organisasi-organisasi lain yang ada dalam masyarakat.
Sebagai sebuah organissi yang kompleks, sekolah memiliki sejumlah norma, nilai, peraturan, dan tuntutan yang harus dipenuhi oleh para anggotanya, termasuk oleh siswa. Ketidakmampuan siswa menyesuaikan diri dengan berbagai tuntutan sekolah tersebut akan memicu terjadinya stress. (Kiselica, dkk, 1994 dalam Desmita, 2010, 292)
Stress biasanya muncul atau terlihat padasituasi serta keadaan yang kompleks, dimana menurut suatu individu anak, dan muncul situasi-situasi yang tidak jelas. Jika dilihat dari dari konteks akademik, stress muncul ketika terlalu banyak tuntutan oleh pendidik yang tidak dapat dipahami dan dimengerti anak. Karena anak cenderung lebih suka melakukan apa yang diinginkannya tanpa memikirkan orang lain. Misalnya karena tuntutan beban tugas yang tinggi, kesukaran pada tugas tinggi, fasilitas sekolah yang kurang memandai untuk anak dapatmengoptimalkan bakatnya, atau bahkan otiritas guru, pihak sekolah maupun teman-temannya. Juga dapat pula karena keadaan sekolah maupun lingkungannya, seperti panas, bising, bau, dll.
Namun perlu dipahami bahwa stress sekolah tidak sepenuhnya bermakna negative, melainakan juga bermakna positif bagi remaja, dalam artian dapat sebagai tantangan untuk mengatasinya. Stress yang bermakna positif ini tidak membahayakan, malah sebaliknya diperlukan untuk meningkatkan kualitas diri dan perstasi belajar.
Dari urain diatas dipahami bahwa kondisi stress yang dialami siswa akibat berbagai tuntutan sekolah, tidak sepenuhnya berdampak positif. Dampak negative atau positf dari fenomena sekolah ini, tergantung pada derajat stress yang mereka alami. Apabila stress sekolah yang dialami remaja berada pada taraf yang tinggi atau sangat serius, maka kemungkinan akan membawa dampak negative bagi perkembangannya. Sebaliknya, apabila stress sekolah yang dialami siswa berada pada taraf moderat, maka dapat berdampak positif. Tinggi,moderat atau rendahnya derajat stress yang dialami oleh remaja akibat berbagai tuntutan sekolah, sangat bergantung pada nilai kognitif mereka, yaitu proses mental yang berlangsung terus menerus untuk menginterpretasikan bebagai situasi dalam interaksinya dengan individu. Siswa yang menilai tuntutan sekolah selagi hal yang sangat menekan, akan menunjukkan adanya derajat stress yang tinggi. Siswa yang menilai tuntutan sekolah itu sebagai kondisi yang tidak membahayakan, akan menunjukkan derat stress yang rendah. Tetapi, apabila siswa menilai tuntutan sekolah sebagai tantangan untuk dapat meningkatkan kualitas dirinya, akan menunjukkan derajat stress yang moderat. Agar siswa dapat menyikapi stress sekolah yang positf, menurut Anderson dan Haslam (1994), sekolah dituntut untuk dapat merancang dan melaksanakan program-program intervensi dan pelatihan stress pada siswa. (Desmita, 2010;300)
Masa-masa sekolah menegah di satu sisi merupakan suatu pengalamn yang sangat berharga bagi anak remaja, tetapi di sisi lain mereka dihadapkan pada banyak tuntutan dan perubahan cepat yang membuat mereka mengalami masa-masa yang penuh stress. Mereka dihadapkan pada pekerjaan rumah yang banyak, perubahan kurikulum yang berlangsung dengan cepat, bataswaktu tugas dan ujian, kecemasan dan kebingungan dalam menentukan pilihan karier dan program pendidikan lanjutan dalam mentukan pilihan karier dan program pendidikan lanjutan, membagi waktu untuk mengerjakan PR, olahraga, hobi, dan kehidupan social. Tidak jarang mereka juga harus berhadapan dengan situasi konflik dengan orang tua, teman-teman, dan saudara-saudara; tuntutan untuk mengatasi suasana hati tidak dapat diramalkan, perhatian tentang penampilan, percekcokan dengan teman sebaya, termasuk menangani percintaan dan dorongan seksual. Masalah keuangan, seperti halnya dengan isu-isu tentang alcohol. Bahkan belakangan ini kekerasan di dalam dan sekitar sekolah telah menjadi suatu ketakutan baru yang menghantui anak remaja. Lebih dari semua tuntutan tersebut, mereka juga harus berhadapan dengan perubahan fisik dan emosional yang cepat dan perubahan emosional.
Fenomena stress sekolah yang dirasakan oleh siswa ini telah banyak disadari dan menjadi wilayah perhatian yang luas di kalangan ilmuan, peneliti, pendidik, dan penganbil kebijakan (pemerintah) di berbagai nrgara. Kesadaran bahwa sekolah menjadi sumber stress di kalangan siswa, agaknya juga terjadi di Indonesia. Kesadaran ini, di antara terlihatdari ungkapan Abdul Malik Fadjar, Menteri Pendidikan Nasional cabinet Gotong Royong, yang menyatakan, lembaga pendidikan atau sekolah harus memiliki konsep belajar yang menyenangkan, agar dapat mencerdaskan siswa dan tidak membuatnya stress (Kompas, 2001). Pernyataan Abdul Malik Fadjar tersebut, secara tidak langsung dapat diraskaan sebagai cerminan kesadaran tokoh pendidikan sekaligus pemerintah terhadap fenomena stress yang dialami oleh iswa di sekolah. Sekolah-sekolah telah menjadi sebuah lembaga yang menakutkan dan menimbulkan perasaan tertekan bagi siswa. Siswa merasakan betapa belajar di sekolah merupakan suatu proses beraty yang mengalami stress dan frustasi. Secara psikodinamik, stress dan frustasi ini bisa ikutmengakari berbagai letupan problem lain, semisal tawuran kelompok-kelompok pelajar dan kerentanan tinggi untuk menyalahgunaan narkotika serta zat adiktif di kalangan pesertadidik (Sutanto, 2001)
Konsep Stress Sekolah
Dalam khasanah psikologis, khususnya dalam kajian tentang stress, istilah “stress-sekolah” merupakan istilah yang relative baru. Dalam literature-literatur ataupun dalam penelitian-penelitian psikologi, istilah ini belum banyak digunakan. Bahkan dalam berbagai kamus, ensiklopedia dan handbook setiap cabang psikologi, tidak ditemukan istilah “school-stress”


B.     Sumber problem stres sekolah

Sebagaimana telah dijelaskan diatas bahwa stres siswa bersumber dari berbagai tuntutan sekolah. Sekolah merupakan sebuah sistem sosial dengan struktur organisasi yang kompleks. Arends (1998)  secara tegas mengatakan bahwa sekolah dalam banyak hal memiliki kesamaan dengan organisasi-organisasi lain yang ada dalam masyarakat.
Sebagai sebuah organisasi sosial yang kompleks, sekolah memiliki sejumlah norma, nilai, peraturan, dan tuntutan yang harus dipenuhi oleh para angootanya, termasuk oleh siswa. Sistem norma, nilai, peraturan, dan tuntutan sekolah tersebut mempunyai dampak yang besar terhadap penyesuaian akademik dan sosial siswa (Brand, dkk., 2003). Ketidakmampuan siswa menyesuaikan diri dengan berbagai tuntutan sekolah tersebut akan memicu terjadinya stres.
Dengan demikian dapat dipahami bahwa stres yang dialami oleh siswa bersumber dari berbagai tuntutan sekolah. Desmita (2005) Mengidentifikasi adanya empat tuntutan sekolah yang dapat menjadi sumber stres bagi siswa, yaitu phyysical demands, task demands role demands, dan interpersonal demands.

Desmita(2005)mengidentifikasikanada 4 tuntutan sekolah yang dapat menjadi sumber stres, yaitu :
1.      Physical demands (tuntutanfisik)
Physical demands maksudny adalah stress siswa yang bersumber dari lingkungan fisiksekolah.

2.      Task demands(tuntutantugas)
Adanyatuntutantugassekolahini di satusisimerupakanaktivitassekolah yang sangatbermanfaatbagiperkembangandankemajuansiswa,namundisisi lain tidakjarangtuntutantugastersebutmenimbulkanperasaantertekandankecemasa

3.      Role demands(tuntutanperan)
Tuntutan peran secara tipikal berkaitan dengan harapan tingkahlaku yang dikomunikasikan oleh pihaksekolah, orangtua dan masyarakat kepada siswa. Harapan peranini dapat menjadi salahsatu sumber stress bagi siswa ,terutama ketika ia merasa tidak mampu memenuhi harapan-harapan peran tersebut.


4.      Interpersonal demands(tuntutan interpersonal)
Rice(1999) secara garis besa rmembedakan 2 tipologi sumber stress sekolah:
a.personal social stressor, adalah stress siswa yang bersumber dari diri dan lingkungan social

b.akademic stressor adalah stress siswa yang bersumber dari proses belajar mengajar atau hal-hal yang berhubungan dengan kegiatan belajar.
Stress yang dialamiolehsiswabiasanyajugadisebabkanoleh:
a.Tekanan orang tua
b.Tekanan guru
c.Tekanandarisesamsiswa
d.Tekanandaridirisendiri


C.Dampak stress sekolah

Stressekolahmempunyaidampakterhadapkehidupanpribadianak,baiksecarafisik,psikologismaupunsecarapsikososial.
Anak yang mengalamitingkat stress tinggi dapat menimbulkan kemunduran prestasi, perilaku maladaptif, dan berbagai problem psikososiallainya. Sedang anak yang mengalami tingkat stress sedang malah dapat meningkatkan kesadaran, kesiapan dan prestasi.

D.Upayamengatasi problem stress sekolah yang dialami peserta didik

Dalam upaya menanggulangi atau menangani kondisi stress peserta didik, sekolah sebagai institusi pendidikan mempunyai peran yang sangat penting. Berikut ini akan dikemukakan beberapa upaya yang dapatdilakukan guru dalam mengatasi stress yang dialami peserta didik:
1.Menciptakan iklimsekolah yang kondusif  Sejumlah pemikir dan praktisi dunia pendidikan kontemporer (seperti,hanuhek,1995,Bobbi de porter,2001,Hoy dan miskel,2001,sockney,2004 )menyarankan kepada pihak sekolah agar mampu menciptakan iklim sekolah sehat dan menyenangkan, yang memungkinkan siswa dapat menjalin interaksi social secara memadai di lingkungan sekolah. Iklim sekolah yang sehat, disamping dibutuhkan untuk membangkitkan motivasi belajar siswa, juga diperlukan untuk mengantisipasi timbulnya perasaan tidak nyaman dan stress dalam diri siswa, yang pada giliranya akan mempengaruhi prestasi belajar mereka.

2.Melaksanakan program pelatihan penanggulangan stress
Kondisi stress yang dialami peserta didik disekolah dapat diatasi oleh guru dengan melaksanakan program pelatihan inokulasi stress. Inokulasi stress merupakan salah satu strategi atau tekhnik kognitif-perilaku dalam program-program terapi konseling. Dengan pemberian inokulasi stress, memungkinkan peserta didik untuk menghadapi situasi-situasi yang stress full disekolah dengan cara-cara penanganan yang lebihrasional. Disamping itu, melalui training inokulasi stress, peserta didik juga dapat meningkatkan ketrampilan-ketrampilan penyesuaian psikososial, hingga lebih mampu menjalin hubungan interpersonal secara memuaskan.

3.Mengembangkan resiliensi peserta didik Resiliensi merupakan kemampuan atau kapasitas insani yang dimiliki peserta didik yang memungkinkanya untuk menghadapi, mencegah, meminimalkan dan bahkan menghilangkan dampak-dampak yang merugikan dari kondisi-kondisi yang tidak menyenangkan atau bahkan mengubah kondisi kehidupan yang menyengsarakan menjadi suatuhal yang wajar untuk diatasi.

EVALUASI ANAK AUTIS



BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Anak autis merupakan anak yang mengalami gangguan perkembangan yang khas mencangkup persepsi, linguistik, kognif, komunikasi dari yang ringan sampai yang berat, dan seperti hidup di dalam dunianya sendiri, ditandai dengan ketidakmampuan berkomunikasi secara verbal dan non verbal dengan lingkungan eksternalnya. Anak autis yang mempunyai gangguan khas tersebut membutuhkan pembelajaran. Meskipun di samping itu mereka mempunyai beragam permasalahan yang sangat kompleks dan luas, dimana satu masalah dapat menjadi pencetus pada masalah lainnya.
Beragam masalah belajar yang melingkupi anak autis tersebut dapat diminimalisir dengan adanya layanan belajar yang sesuai. Diantaranya dengan model segregasi dan modal inklusi. Layanan model segregasi ini lebih dikenal dengan sebutan Sekolah Luar Biasa [ SLB] atau sekolah khusus. Sedangkan inklusi adalah sebuah pendidikan dimana merangkul dan menerima keragaman. Model ini memberikan kesempatan kepada semua peserta didik yang berkebutuhan khusus dan peserta didik pada umumnya untuk mengikuti pembelajaran dalam lingkungan pendidikan secara bersama-sama.
Pada pembahasan kali ini akan lebih mengaitkan pembelajaran anak autis secara inklusi. Di dalam fase pembelajaran anak autis membutuhkan program pembelajaran yang tepat. Tetapi di sisi lain, selain program pembelajaran yang diberikan, seorang pendidik juga memerlukan evaluasi atau penilaian terhadap program pembelajaran yang sudah diimplementasikan tersebut. Mengingat betapa pentingnya penilaian yang dilakukan terhadap perkembangan belajar anak autis, di dalam makalah ini akan dibahas mengenai hal tersebut.

B. Tujuan Penulisan

Makalah ini disajikan dengan harapan dapat memberikan informasi mengenai evaluasi atau penilaian yang sesuai untuk anak autis. Agar dapat meminimalisir masalah-masalah yang menghambat anak autis dalam belajar.

C. Rumusan Masalah

1. Apa yang dimaksud dengan evaluasi?
2. Bagaimana cara melaksanakan evaluasi?
3. Apa saja manfaat evaluasi?
















BAB II
ISI

A. Pengertian Evaluasi

Evaluasi merupakan suatu kegiatan untuk melakukan pengamatan, analisis tugas, pemberian tes untuk menafsirkan, mendeskripsikan tentang karakteristik seseorang, guna pengambilan keputusan tentang pelayanan bagi individu yang bersangkutan. Asesmen ini dimaksudkan untuk memahami keunggulan dan hambatan belajar siswa dan diharapkan program yang tersususn benar-benar sesuai dengan kebutuhan belajarnya.
Penilaian pencapaian kompetensi dasar peserta didik dilakukan berdasarkan indikator. Penilaian dilakukan dengan menggunakan tes dan non tes dalam bentuk tertulis maupun lisan. Pengamatan kinerja, pengukuran sikap, penilaian hasil berupa tugas, proyek dan/atau produk. Penggunan portofolio dan penilaian diri.
Pada pembelajaran terpadu peran evaluasi tidak berbeda dengan pembelajaran konvensional. Oleh karenanya sebagai hal yang perlu diperhatikan dalam mengevaluasi kegiatan pembelajaran baik dalam menggunakan pendekatan terpadu maupun konvensional adalah sama. Evaluasi pembelajaran terpadu diarahkan pada evaluasi dampak instruksional (instructional effect) dan dampak penggiring (nurturant effect), seperti halnya kemampuan bekerja sama, menghargai pendapat orang lain.
Dengan demikian, dari segi pertahanan, evaluasi dapat dilakukan baik pada tahap perencanaan maupun pada tahap pelaksanaan, sedangkan dari segi sasaran, evaluasi difokuskan pada proses maupun produk pembelajaran, evaluasi proses belajar adalah upaya pemberian nilai terhadap kegiatan pembelajaran yang dilakukan oleh guru dan peserta didik, sedangkan evaluasi hasil belajar adalah proses pemberian nilai terhadap hasil belajar yang dicapai menggunakan kriteria tertentu. Evaluasi proses menggunakan instrumen non tes, sedangkan evaluasi produk menggunakan instrumen tes. Hasil belajar tersebut pada hakikatnya merupakan pencapaian kompetensi-kompetensi yang mencakup aspek pengetahuan, keterampilan, sikap dan nilai-nilai yang diwujudkan dalam kebiasaan berpikir dan bertindak. Penilaian proses dan hasil pembelajaran itu saling berkaitan satu dengan yang lainnya, karena hasil belajar merupakan akibat dari suatu proses belajar.

B. Prinsip-prinsip Penilaian

Penilaian bagi anak autis harus dilaksanakan dengan berdasarkan pada prinsip-prinsip penilaian sebagai berikut;

1.  Mengacu pada kemampuan yang harus diwujudkan
Penilaian dilakukan dan digunakan untuk mengetahui apakah siswa telah menguasai kompetensi atau kemampuan yang sesuai dengan yang telah ditargetkan pada progam atau rencana pembelajaran. Instrumen atau alat tes harus mampu merefleksikan setiap kemampuan yang ditargetkan guru dalam bentuk tujuan pembelajaran dalam program dan rencana pembelajaran.

2.  Berkelajutan
Penilaian harus memenuhi prinsip berkelajutan, karena setiap materi pembelajaran umumnya akan menjadi pra syarat untuk mengikuti pembelajaran materi selanjutnya. Hal ini perlu kehatian-hatian guru ketika menetapkan program pembelajaran karena akan menentukan bentuk ataupun alat penilaian. Guru dalam merancang alat penilaian harus mampu memetakan kompetensi dan keterkaitan kompetensi yang satu dengan kompetensi yang lainnya. Dan menetapkan kompetensi mana yang menjadi pra syarat bagi kompetensi berikutnya. Pemetaan ini biasanya dilakukan di awal semester.

3.  Memenuhi unsur didaktis
Alat tes yang akan digunakan harus memenuhi unsur-unsur didaktis, baik tes maupun non tes harus dirancang secara baik oleh guru dari segi isi, format, maupun lay out soal/alat evaluasi, agar tampilannya menarik bagi siswa, dan mampu memotivasi siswa untuk menyenangi tes yang dilakukan dan bahkan anak akan lebih menikmati proses penilaian tersebut. Untuk penilaian program pra akademik seorang anak autis tidak harus/selalu memerlukan alat tes tapi penilaian juga dapat dilakukan melalui observasi.


4.  Menggali informasi
Penilaian yang dilakukan guru harus mampu memberikan sejumlah informasi yang cukup bagi guru untuk membuat kesimpulan dari penilaian yang dilakukan. Dengan informasi yang cukup guru dapat membuat laporan penilaian secara lebih lengkap.

5.  Menemukan nilai-nilai positif dan negatif
Dalam melaksanakan penilaian, guru hendaknya memperhatikan saat proses penilaian dilakukan untuk mengetahui kemampuan siswa yang sesungguhnya. Nilai-nilai negatif sangat mungkin terjadi saat anak dievaluasi dalam kondisi yang tidak nyaman maupun pada saat kondisi anak yang mengalami tantrum.
Nilai-nilai positif bisa diperoleh dari jawaban siswa atas soal-soal mengenai hal-hal yang dianggap sulit oleh guru tetapi anak dapat mengerjakannya dengan baik dan berhasil. Apabila nilai positif ini lebih disebabkan oleh kesalahan dalam melakukan asesmen, guru dan pimpinan sekolah harus segera melakukan asesmen ulang untuk selanjutnya mengoreksi program pembelajaran yang sedang dilaksanakan.
6.  Memenuhi standar prosedur penilaian
Penilaian untuk anak autis memiliki prosedur yang sama dengan penilaian anak berkebutuhan khusus. Penilaian pada anak autis berbasis pada asesmen yang telah dilakukan yang dijadikan dasar penyusunan program pembelajaran.
 

C. Hal yang Harus Diperhatikan Guru dalam Menilai

Dalam melaksanakan penelitian bagi anak autis khususnya program pra akademik ada tiga hal yang harus diperhatikan guru dalam menilai keberhasilan anak dalam mencapai tujuan dan melaksanakan program pra akademik, yaitu;

1.  Frekwensi
Dari aspek frekwensi penilaian harus memperhatikan berapa kali sikap atau nilai positif dimunculkan anak. Apabila nilai atau sikap positif hanya muncul 1 atau 2 kali belum dapat dijadikan patokan bahwa anak telah berhasil dengan baik/sempurna.

2.  Kualitas
Dari aspek kualitas guru harus menetapkan standar kualitas kerberhasilan seorang anak, misalnya anak dapat melakukan kontak mata dengan guru atau dengan orang tua harus ditetapkan kualitasnya, berdasarkan hasil asesmen dapat menetapkan kualitas keberhasilan kontak mata untuk anak [x] misalnya dapat melakukan kontak mata 3 detik, anak secara kualitas dinyatakan berhasil.

3.  Reflek
Selain frekwensi dan kualitas guru juga harus mempertahankan respon atau reaksi anak ketika dilakukan evaluasi, misalnya guru ingin mengevaluasi pemahaman anak tentang nama diri, yang dinilai adalah reflek anak, anak dapat menengok ketika namanya dipanggil atau anak dapat bereaksi ketika namanya dipanggil.

D. Pelaksanaan Evaluasi

1. Evaluasi Proses
Evaluasi proses ini dilakukan dengan cara seketika pada saat proses kegiatan berlangsung dengan cara meluruskan atau membetulkan perilaku menyimpang atau pembelajaran yang sedang berlangsung seketika itu juga. Hal ini dilakukan oleh pembimbing dengan cara memberi reward atau demonstrasi secara visual dan kongkrit.
Disamping itu untuk mengetahui sejauh mana proses yang dicapai anak dapat diketahui dengan cara adanya catatan khusus/buku penghubung.

2. Evaluasi Bulan
Evaluasi ini bertujuan untuk memberikan laporan perkembangan atau permasalan yang ditentukan atau dihadapi pembimbing di sekolah. Evaluasi bulanan ini dilakukan dengan cara mendiskusikan masalah dan perkembangan anak antara guru dan orang tua anak autistik guna mendapatkan pemecahan masalah (solusi dan pemecahan masalah), antara lain dengan mencari penyebab dan latar belakang munculnya masalah serta pemecahan masalah macam apa yang tepat dan cocok untuk anak autistik yang menjadi contoh kasus. Hal ini dapat dilakukan oleh guru dan orang tua dengan mengadakan diskusi bersama atau case conference.



3. Evaluasi Catut Wulan
Evaluasi ini disebut juga dengan evaluasi program yang dimaksud sebagai tolak ukur keberhasilan program secara menyeluruh. Apabila tujuan program pendidikan dan pengajaran telah tercapai dan dapat dikuasai anak, maka kelanjutan program dan kesinambungan program ditingkatkan dengan bertolak dari kemampun akhir yang dikuasai anak, sebaiknya apabila program belum dapat terkuasai oleh anak maka diadakan pengulangan program (remidial) atau meninjau ulang apa yang menyebabkan ketidak berhasilan pencapaian program.



E. Manfaat Evaluasi
1.    Untuk mengetahui identitas anak autis secara lengkap dan rinci.
2.    Untuk mengetahui tingkat kemampuan dan kebutuhan anak autis.
3.    Pedoman untuk mengklasifikasikan dan menyusun program-program  kegiatan anak autis.
4.    Pedoman untuk menyusun program dan strategi pembalajaran.











BAB III
PENUTUP

A.      Kesimpulan

     Evaluasi adalah proses pengukuran akan efektifitas strategi yang digunakan dalam upaya mencapai tujuan pembelajaran anak Autis. Data yang diperoleh dari hasil pengukuran tersebut akan digunakan sebagai analisis kegiatan pembelajaran anak Autis berikutnya.
         
            Ada tiga cara dalam pelaksanaan pembelajaran anak Autis yaitu evaluasi proses,     bulan, caturwulan (3bulan) secara berkesinambungan


Maanfaat pelaksanaan evaluasi adalah untuk mengetahui identitas anak autis secara    lengkap dan rinci, tingkat kemampuan dan kebutuhan anak autis, pedoman untuk             mengklasifikasikan dan menyusun program-program kegiatan anak autis, pedoman untuk menyusun program dan strategi pembalajaran.


B.       Saran
     Dari hasil makalah yang telah dibuat, penulis menyarankan agar kita lebih peduli bagi anak-anak barkebutuhan khusus terutama bagi anak autis. Sebagai mansyarakat secara umum kita harus bisa menerima anak-anak tersebut.
Semoga makalah ini menjadi rujukan bagi kita untuk bisa memberikan layanan pendidikan bagi anak-anak autis khususnya dalam pelakasanaan evaluasi dalam pembelajaran.


DAFTAR PUSTAKA

Koswara, Deded. (2013). Pendidikan Anak Berkebutuhan Khusus Autis. Jakarta: PT. Luxima Metro Media.

AK, Mudjito, dkk. Pendidikan Anak Autis.

Syukron Zahidi, 2014, Cara Guru Melaksanakan Pembelajaran Terpadu. http://izzaucon.blogspot.com/2014/06/cara-guru-melaksanakan-pembelajaran.html. Diakses pada 10 Februari 2015.